13 Film Indonesia yang Terbaik Sepanjang Sejarah
Sudah
sejak lama ada beberapa pihak baik itu institusi, media ataupun
perorangan yang berusaha menggolongkan film-film Indonesia sepanjang
masa yang layak menjadi film yang terbaik berdasarkan kategori-kategori
tertentu. Salah satunya adalah tabloid Bintang Indonesia yang pada akhir
tahun 2007 berusaha memilah film-film apa saja yang dapat dikategorikan
sebagai film Indonesia terbaik. Dari 160 film yang masuk dipilihlah 13
film yang dapat dikategorikan sebagai film-film Indonesia terbaik
sepanjang masa.
Film-film tersebut dipilih oleh 20 pengamat dan wartawan film yakni: Yan
Widjaya (wartawan film senior), Ilham Bintang (wartawan film senior),
Ipik Tanojo (Bali Post), Eric Sasono (pengamat film), Arya Gunawan
(pengamat film), Noorca M. Massardi (wartawan film senior), Yudhistira
Massardi (Gatra), Leila S. Chudori (Tempo), Frans Sartono (Kompas),
Yusuf Assidiq (Republika), Aa Sudirman (Suara Pembaruan), Taufiqurrahman
(The Jakarta Post), Eri Anugerah (Media Indonesia), Sandra Kartika
(Wakil Pemimpin Redaksi Tabloid Teen), Telni Rusmitantri (Cek n Ricek),
Ekky Imanjaya (situs Layarperak.com), Wenang Prakasa (Movie Monthly),
Orlando Jafet (Cinemags), Poernomo Gontha Ridho (Koran Tempo), dan Ekal
Prasetya (Seputar Indonesia).
Beriktu 13 Film Indonesia yang Terbaik Sepanjang Sejarah:
1. Tjoet Nja' Dhien (1986)
[lihat.co.id] - Film
ini menceritakan tentang perjuangan gigih seorang wanita asal Aceh
(lihat Tjoet Nja' Dhien ) dan teman-teman seperjuangannya melawan
tentara Kerajaan Belanda yang menduduki Aceh di kala masa penjajahan
Belanda di zaman Hindia Belanda.
Perang antara rakyat Aceh dan tentara Kerajaan Belanda ini menjadi
perang terpanjang dalam sejarah kolonial Hindia Belanda. Film ini tidak
hanya menceritakan dilema-dilema yang dialami Tjoet Nja' Dhien sebagai
seorang pemimpin, namun juga yang dialami oleh pihak tentara Kerajaan
Belanda kala itu, dan bagaimana Tjoet Nja' Dhien yang terlalu bersikeras
pada pendiriannya untuk berperang, akhirnya dikhianati oleh salah satu
orang kepercayaannya dan teman setianya, Pang Laot yang merasa iba pada
kondisi kesehatan Tjoet Nja' Dhien yang menderita rabun dan encok,
ditambah penderitaan berkepanjangan yang dialami para pejuang Aceh dan
keluarga mereka.
2. Naga Bonar (1986)
[lihat.co.id] - Naga
Bonar (Deddy Mizwar) adalah seorang pencopet di Medan yang sering
keluar-masuk penjara Jepang, ia bersahabat dengan seorang pemuda bernama
Bujang. Sepulang dari penjara, Bang Pohan (Piet Pagau) mengatakan
tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamasikan di
Jakarta, dan di Medan yang belum sempat dimerdekakan harus memperangi
Belanda yang sudah memasuki wilayah Indonesia dengan maksud untuk
berkuasa lagi. Lewat narator radio, diceritakan penolong Naga Bonar
ketika sakit, Dokter Zulbi yang merupakan teman Bang Pohan diperkirakan
sebagai mata-mata Belanda yang ternyata itu hanya isu. Naga Bonarpun
menjadi tentara garis depan dalam perlawanan terhadap Belanda.
Setelah beberapa perlawanan yang sengit, Naga Bonar dititahkan dari
markas untuk mundur karena perundingan dengan Belanda mau dilaksanakan.
Perpindahan pasukan dari desa ke markas menjadi saat Naga Bonar mulai
tertarik dengan anak Dokter Zulbi, Kirana (Nurul Arifin). Pada
perundingan Belanda dengan Indonesia, Naga Bonar yang menjadi wakil
Indonesia justru menunjuk Parit Buntar sebagai tempat wilayah tentaranya
(karena Naga Bonar tidak bisa membaca peta).
Juru tulis pasukan, Lukman, mengatakan bahwa Parit Buntar adalah tempat
yang sudah diduduki oleh Belanda. Setelah itu, Naga Bonar mulai
mendekati Kirana dengan hasil yang memuaskan. Sehari setelah itu, Bujang
mengambil baju jenderal Naga Bonar dan pergi ke Parit Buntar untuk
melawan Belanda, naas, ia tewas. Akhirnya bersama dengan Kirana, dan
pasukannya pergi ke Parit Buntar untuk memusnahkan markas Belanda dan
berhasil. Film diakhiri dengan orasi Naga Bonar dan Kirana kepada pemuda
indonesia.
3. Ada Apa dengan Cinta? (2001)
[lihat.co.id] - Bertemakan
cinta di masa-masa SMA, Ada Apa dengan Cinta menampilkan Cinta (Dian
Sastrowardoyo) sebagai seorang pelajar SMA. Ia langganan juara lomba
puisi di sekolahnya yang rutin diadakan tiap tahun. Cerita berawal dari
Alya (Ladya Cherill) yang tubuhnya memar karena kerap dipukuli sang ayah
yang kerap cek-cok dengan ibunya. Alya adalah sahabat karib Cinta
dengan teman-temannya yang lain. Seperti Carmen (Adinia Wirasti), Maura
(Titi Kamal), dan Milly (Sissy Priscillia).
Di sekolah, juara lomba puisi tahun ini akan diumumkan. Seluruh siswa
yakin Cinta yang akan menjadi juara. Namun justru pemenangnya tahun ini
adalah Rangga (Nicholas Saputra). Karena Cinta dan teman-temannya adalah
pengurus mading sekolah, ia akan mewawancarai Rangga. Namun Rangga
adalah tipe laki-laki pendiam, penyendiri dan "dingin". Saat Cinta
berbicara dengan Rangga, ia melihat buku yang dipegang Rangga (buku AKU
karya Syumandjaya). Lalu Cinta memberinya surat dan membuat Rangga
emosi. Dan tanpa disengaja bukunya terjatuh. Cinta segera memungutnya.
Dan membawa pulang buku itu untuk dibaca.
Cinta mengembalikan buku tersebut saat Rangga kebingungan mencarinya.
Rangga pun berterima kasih pada Cinta. Semenjak itu mereka menjadi
dekat. Rangga mengajak Cinta ke Kwitang, tempat ia membeli buku lama.
Saat di Kwitang, Cinta teringat akan janji menonton konser bersama
teman-temannya. Ia pun meninggalkan Rangga untuk menonton konser.
Pada suatu malam Rangga dan Cinta kencan di sebuah kafe. Namun sebelum
Cinta berangkat, Alya menelepon untuk memintanya ke rumah. Namun Cinta
berbohong bahwa ia akan pergi ke rumah sakit. Akhirnya Cinta pergi
bersama Rangga. Di sana Cinta menyanyikan lagu yang dibuat dari puisi
Rangga. Saat Cinta pulang, mama Cinta akan pergi menjenguk Alya di rumah
sakit karena mencoba bunuh diri. Cinta menjadi sangat menyesal.
Keesokan harinya, Rangga menyapa Cinta. Namun Cinta justru berkata ketus
agar Rangga tidak mendekatinya lagi. Rangga pun sepakat bahwa ia akan
menjauh dari Cinta. Saat di rumah sakit Cinta berterus-terang pada Alya
bahwa ia berbohong dan Alya pun tahu bahwa Cinta kencan dengan Rangga.
Cinta tidak tahu bahwa saat ia berkata jujur, teman-temannya yang lain
ada dibelakangnya. Cinta juga meminta maaf kepada teman-temennya yang
lain.
Rangga yang saat itu akan berencana pindah sekolah ke San Francisco dari
asal negara Amerika Serikat, mencoba menelepon Cinta untuk berpamitan.
Namun Cinta justru tetap menjauh dari Rangga. Carmen yang saat itu
sedang latihan basket melihat Rangga berpamitan pada Pak Wardiman, sang
penjaga sekolah. Ia pun segera memberitahukan teman-temannya.
Cinta yang menyadari cinta sejatinya itu, segera menyusul ke Bandar
Udara Internasional Soekarno-Hatta. Namun mobil Milly terjepit mobil
lain. Mereka meminjam mobil Mamet (Dennis Adhiswara). Di sana Cinta
bertemu dengan Rangga. Ia meminta Rangga untuk membatalkan niatnya
sekolah di luar negeri. Namun Rangga tetap pergi meninggalkan Cinta-nya.
Ia memberi Cinta buku yang pada halaman terakhirnya terdapat puisi
Rangga yang berjudul "Ada Apa dengan Cinta?". Rangga berjanji akan
kembali di saat bulan purnama tiba ke Bandar Udara Internasional San
Fransisco.
4. Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985)
[lihat.co.id] - Ramadan
dan Mona bertemu dalam sebuah pertandingan bola voli ketika Ramadan
yang wartawan memotret Mona bertanding membela regu bank tempatnya
bekerja. Foto Mona dimuat di koran Ramadan sebagai foto rancak berhadiah
uang 10.000 rupiah. Mona ditemani Marni, rekan kerja dan teman
serumahnya, berencana menuntut Ramadan karena memotret dan memuat foto
Mona tanpa izin. Panji Wijaya, atasan Ramadan, memintanya untuk membujuk
Mona agar menggagalkan niatnya. Bukan hanya membujuk, Ramadan berhasil
merayu hingga Mona jatuh cinta padanya. Mereka akhirnya menikah.
Setelah menikah, Mona pindah ke rumah Ramadan. Di sana juga tinggal
Markum, paman Ramadan yang membujang meskipun punya sederet filosofi
tentang wanita. Konflik mulai timbul ketika perbedaan karakter Ramadan
dan Mona perlahan-lahan muncul ke permukaan. Mona bercerita pada Marni
sedangkan Ramadan meminta nasihat Markum dan Panji. Campur tangan pihak
luar ini justru memperkeruh kesalahpahaman dan memicu pertengkaran hebat
hingga Mona keluar rumah Ramadan dan tinggal kembali bersama Marni.
5. Badai Pasti Berlalu (1977)
[lihat.co.id] - Film
ini berkisah tentang Siska (Christine Hakim) yang patah hati karena
tunangannya membatalkan perkimpoian mereka dan menikah dengan gadis
lain.
Siska yang kehilangan semangat hidup memutuskan keluar dari pekerjaannya
dan hidup menyendiri. Leo, sahabat Jhonny, kakak Siska, mendekatinya
untuk memenangkan taruhan dengan teman-temannya untuk menaklukkan Siska.
Leo yang ’Don Yuan’ berhasil membangkitkan semangat hidup Siska yang
sudah terlelap dalam apati dan beku bagaikan gunung es, namun ia sendiri
benar-benar jatuh hati kepada gadis itu.
Kesalahpahaman terjadi di antara mereka, menyebabkan mereka tidak bisa
bersatu. Lalu, muncul pula Helmi, seniman pegawai niteclub, seorang
pemuda yang lincah, perayu, dan licik. Badai demi badai yang hitam pekat
melanda hati Siska.
6. Arisan! (2003)
[lihat.co.id] - Arisan
menjadi ajang mereka berkumpul dan memperlihatkan kemapanan hidup
mereka. Padahal di balik itu semua, mereka mempunyai masalah-masalah
pribadi yang berusaha mereka tutupi. Seperti Sakti (Tora Sudiro) dari
keluarga Batak, yang merupakan seorang gay. Andien (Aida Nurmala)
berusaha membalas dendam suaminya yang selingkuh. Meimei (Cut Mini Theo)
berusaha keras untuk memenuhi obsesinya yaitu memiliki anak. Sampai
pada suatu titik di mana sebuah persahabatan yang sejati dari tiga
karakter utama dalam film ini bisa menembus tembok keterasingan mereka.
7. November 1828 (1978)
[lihat.co.id] - Film
ini menceritakan tentang sebuah kelompok penduduk desa di Jawa yang
memberontak melawan pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Film ini
mengandung tema loyalitas dan pengkhianatan.
Jalinan kisah November 1828 ini dimulai ketika Kapten van der Borst,
disertai pasukannya, berusaha mengorek informasi tentang lokasi
persembunyian Sentot Prawirodirdjo, tangan kanan Pangeran Diponegoro.
Jayengwirono, seorang demang gila jabatan, memberitahukan bahwa
Kromoludirolah yang mengetahui informasi tersebut. Kromoludiro pun
ditangkap, ditawan di rumahnya sendiri, dan dengan berbagai upaya
dipaksa membuka mulut.
Sepanjang proses interogasi dan mata rantai peristiwa yang
ditimbulkannya, terlihat bahwa dibalik konflik antara Belanda dan rakyat
Jawa ini sebenarnya berkecamuk konflik internal yang tak kalah dahsyat
dalam diri tokoh-tokohnya. Film ini mengingatkan bahwa permusuhan atau
sikap agresif berlebihan terhadap orang lain seringkali merupakan
ungkapan yang tak disadari dari ketegangan dalam diri orang itu sendiri.
Hal kontras yang menarik juga diperlihatkan dalam sosok Kapten de Borst
dan Letnan van Aken. Kapten de Borst pada film ini banyak disulut oleh
ambisi pribadi. Ia gerah karena perwira lain yang lebih muda dari dia,
ternyata sudah meraih pangkat lebih tinggi. Alasannya karena ia merasa
mereka orang Belanda tulen, dan van Aken hanya seorang Indo. Sebaliknya,
Letnan van Aken, yang juga seorang Indo, diam-diam bersimpati terhadap
rakyat Jawa, dan menolak untuk menghalalkan segala cara.
Kalau dicermati, pihak-pihak yang berkonflik secara frontal adalah para
bawahan. Para atasan -- dalam hal ini Belanda dan Pangeran Diponegoro --
hanya berada di latar belakang. Di pihak Belanda, sebenarnya bahkan
tidak ada orang Belanda; hanya ada sejumlah perwira Indo dan yang
lainnya adalah prajurit bayaran. Pangeran Diponegoro sendiri hanya
diperbincangkan; yang muncul di layar adalah orang kepercayaannya,
Sentot Prawirodirjo. Itu pun ia ditampilkan dalam citra mesianis: muncul
pada detik-detik terakhir untuk memetik hasil perjuangan gotong-royong.
8. Gie (2005)
[lihat.co.id] - Soe
Hok Gie dibesarkan di sebuah keluarga keturunan Tionghoa yang tidak
begitu kaya dan berdomisili di Jakarta. Sejak remaja, Hok Gie sudah
mengembangkan minat terhadap konsep-konsep idealis yang dipaparkan oleh
intelek-intelek kelas dunia. Semangat pejuangnya, setiakawannya, dan
hatinya yang dipenuhi kepedulian sejati akan orang lain dan tanah airnya
membaur di dalam diri Hok Gie kecil dan membentuk dirinya menjadi
pribadi yang tidak toleran terhadap ketidakadilan dan mengimpikan
Indonesia yang didasari oleh keadilan dan kebenaran yang murni.
Semangat ini sering salah dimengerti orang lain. Bahkan sahabat-sahabat
Hok Gie, Tan Tjin Han dan Herman Lantang bertanya "Untuk apa semua
perlawanan ini?". Pertanyaan ini dengan kalem dijawab Soe dengan
penjelasan akan kesadarannya bahwa untuk memperoleh kemerdekaan sejati
dan hak-hak yang dijunjung sebagaimana mestinya, ada harga yang harus
dibayar, dan memberontaklah caranya. Semboyan Soe Hok Gie yang
mengesankan berbunyi, "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada
kemunafikan."
Masa remaja dan kuliah Hok Gie dijalani di bawah rezim pelopor
kemerdekaan Indonesia Bung Karno, yang ditandai dengan konflik antara
militer dengan PKI. Soe dan teman-temannya bersikeras bahwa mereka tidak
memihak golongan manapun. Meskipun Hok Gie menghormati Sukarno sebagai
founding father negara Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan
Sukarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang miskin
terinjak-injak. Hok Gie tahu banyak tentang ketidakadilan sosial,
penyalahgunaan kedaulatan, dan korupsi di bawah pemerintahan Sukarno,
dan dengan tegas bersuara menulis kritikan-kritikan yang tajam di media.
Soe juga sangat membenci bagaimana banyak mahasiswa berkedudukan senat
janji-janji manisnya hanya omong kosong belaka yang mengedoki usaha
mereka memperalat situasi politik untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Penentangan ini memenangkan banyak simpati bagi Hok Gie, tetapi juga
memprovokasikan banyak musuh. Banyak interest group berusaha melobi Soe
untuk mendukung kampanyenya, sementara musuh-musuh Hok Gie bersemangat
menggunakan setiap kesempatan untuk mengintimidasi dirinya.
Tan Tjin Han, teman kecil Hok Gie, sudah lama mengagumi keuletan dan
keberanian Soe Hok Gie, namun dirinya sendiri tidak memiliki semangat
pejuang yang sama. Dalam usia berkepala dua, kedua lelaki dipertemukan
kembali meski hanya sebentar. Hok Gie menemukan bahwa Tan telah terlibat
PKI tetapi tidak tahu konsekuensi apa yang sebenarnya menantinya. Hok
Gie mendesak Tan untuk menanggalkan segala ikatan dengan PKI dan
bersembunyi, tetapi Tan tidak menerima desakan tersebut.
Hok Gie dan teman-temannya menghabiskan waktu luang mereka naik gunung
dan menikmati alam Indonesia yang asri dengan Mahasiswa Pecinta Alam
(MAPALA) UI. Selain itu, mereka juga gemar menonton dan menganalisa
film, menikmati kesenian-kesenian tradisional, dan menghadiri
pesta-pesta.
Film ini menggambarkan petualangan Soe Hok Gie mencapai tujuannya untuk
menggulingkan rezim Sukarno, dan perubahan-perubahan dalam hidupnya
setelah tujuan ini tercapai.
9. Taksi (1990)
[lihat.co.id] - Film
ini menceritakan tentang “Desi” (Meriam Bellina), seorang wanita
cantik, yang meninggalkan bayinya di dalam taksi yang dikendarai oleh
“Giyon” (Rano Karno). Setelah berusaha menberika informasi kepada
wartawan untuk menemukan keberadaan Desi, lalu dia membawa bayi itu
pulang. Dia lambat laun menjadi terkenal karena budi baiknya dan
akhirnya dapat menemukan Desi, yang menjadi penyanyi di kota besar. Akan
tetapi semuanya menjadi runyam ketika surat kabar memberitakan bahwa
bayi tersebut adalah hasil hubungan gelap antara “Giyon” dan Desi.
10. Ibunda (1986)
[lihat.co.id] - Film
ini menceritakan sebuah kisah di kota Jakarta, ketika Ibu Rakhim (Tuti
Indra Malaon) seorang janda priyayi, menghadapi dua masalah terpisah
dalam keluarganya. Fitri anak perempuan bungsunya, mempunyai pacar Luke
(Alex Komang) yang dibenci oleh Farida (Niniek L. Karim), kakak Fitri,
dan suaminya yang kaya dari kalangan bangsawan Jawa, Gatot, karena Luke
adalah seorang Papua bukan Orang Jawa. Pada saat yang bersamaan anak
laki-lakinya, Fikar, meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk tinggal
dengan seorang artis.
Film ini berusaha menunjukkan sisi psikologi dari seorang ibu dan
hubungan moral diantaranya dalam menyelesaikan masalah keluarganya. Juga
mengingatkan kita akan pentingnya arti keluarga / ibu. Dukungan seorang
Ibu terhadap anak-anaknya maupun pasangannya, dari status sosial hingga
warna kulit, dikupas di film ini.
Di akhir film ada sebuah bacaan, yaitu: "Ibu, buku yang habis kau baca, baru kubaca pada halaman pertama".
11. Tiga Dara (1956)
[lihat.co.id] - Film
ini berkisah tentang romantika keluarga dengan tiga anak perempuan yang
semuanya masih lajang. Ibu mereka meninggal, dan ketiganya tinggal
bersama nenek dan ayah yang terus sibuk.
Mengemban amanat almarhumah, sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk
si sulung. Namun calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua
dari tiga dara dimana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan
konflik. Konflik inilah yang menjadi cerita menarik dari lakon Tiga
Dara.
12. Si Doel Anak Betawi (1973)
[lihat.co.id] - Si
Doel (Rano Karno) dibesarkan olah ibunya (Tuti Kirana) dan ayahnya
(Benyamin S.) mengikuti budaya Betawi asli. Karena sebuah kecelakaan,
ayahnya meninggal hingga ia hidup berdua dengan ibunya. Si Doel membantu
ibunya berjualan untuk meneruskan hidup. Pada suatu saat datang sebuah
bantuan dari Asmad (Sjuman Djaya), pamannya yang kemudian diterima
sebagai ayahnya. Asmad memberi kesempatan pada si Doel untuk bersekolah,
juga sekaligus untuk menolak anggapan jelek anak Betawi karena banyak
yang tidak bersekolah.
13. (Cintaku di) Kampus Biru (1976)
[lihat.co.id] - Walaupun
tokoh utama film ini adalah Anton Rorimpandey, mahasiswa antropologi,
namun ceritanya bukan sebatas kehidupan Anton tampan dan don juan,
melainkan gambaran seorang mahasiswa yang berotak encer namun bukan kutu
buku dan terisolasi di menara gading pemikiran.
Intrik di kalangan mahasiswa, termasuk perebutan posisi ketua dewan
mahasiswa untuk tingkat universitas atau ketua senat mahasiswa untuk
lingkup fakultas, menjadi miniatur perpolitikan Indonesia.
Dengan demikian, menjadi relevan jika Anton mengidentifikasikan diri dan
mengidolakan sosok berambut gondrong Che Guevara, pemimpin gerilya di
Bolivia tahun 1965, serta sebelumnya memimpin Revolusi Kuba tahun
1956-1959.
ane lahir pas di film taxi...
BalasHapuspada tua tua amat film terbaiknya..
nice lah buat mengenang hehehe